Sejak pandemi Covid-19 menerjang Indonesia pada Bulan Maret 2020, praktis terjadi pembatasan pergerakan penduduk secara signifikan. Momen tahunan yang kemudian menjadi terlihat sangat berbeda, adalah ritual rutin tahunan, yaitu mudik lebaran, atau Iedul Fitri. Tahun 2020 dan tahun 2021 menjadi catatan sejarah bagaimana ritual tahunan terbatasi oleh regulasi yang ada. Kondisi berbeda terjadi pada tahun 2022 ini, tradisi mudik sudah relatif kembali seperti sedia kala. Dalam seminggu terakhir, berita kemacetan menghiasi media-media. Bukan hanya media dalam negeri, tetapi juga menarik perhatian media asing. Media Reuters dari London, Bloomberg dari AS, dan Channel News Asia juga menyoroti fenomena mudik lebaran di Indonesia.
Pergerakan orang dalam mudik lebaran ini akan berbanding lurus dengan potensi perputaran uang. Data lapangan menunjukkan sekitar 80 juta pemudik bergerak ke daerah-daerah. Dengan asumsi rata-rata per orang membelanjakan 2 juta rupiah, terjadi perputaran uang 160 triliun secara agregat. Kalau kita mengacu data Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2021 yang sebesar Rp. 16.970,8 triliun, perputaran uang selama lebaran ini setara dengan 1% PDB.
Kalau tren perputaran uang dan pergerakan ekonomi ini bisa terus terjaga sampai akhir tahun 2022, potensi pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi kisaran 5%-5,5% relatif bisa tercapai. Bisa melampaui target pemerintah yang di kisaran 5,2%.
Indikator positif ekonomi ini mempunyai potensi masalah di sisi lain, yaitu adanya potensi inflasi yang juga bisa terus naik di atas target dan asumsi awal pemerintah. Ada 2 (dua) hal yang membuat inflasi ini terus tereskalasi. Faktor pertama adalah karena memang ekonomi yang sedang menemukan keseimbangan pasca pandemi. Supply dan demand sedang terjadi kontraksi, sehingga menimbulkan gejolak harga-harga di beberapa komoditas strategis, misalnya minyak goreng, kedelai, BBM, barang-barang produksi impor, dll. Kondisi ini membuat multiplier effect terhadap kenaikan harga-harga secara umum.
Faktor kedua, adalah kebijakan pemerintah yang cenderung kurang tepat waktunya. Misalnya menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tanggal 1 April 2022. Kebijakan ini secara psikologis akan membuat kenaikan secara konstan untuk barang-barang konsumsi. Karena 2 (dua) hal utama ini, inflasi pada akhir 2022, bisa terdongkrak di kisaran 3,3%-3,6%. Lebih tinggi dari target awal pemerintah di angka 3%.
Menariknya, dalam kondisi ekonomi yang sedang banyak fluktuasi ini, Presiden Jokowi pada pembukaan Musrenbangnas tanggal 28 April 2022 membuat beberapa arahan agar ekonomi bisa tetap berjalan dengan konstan dan terkendali. Arahan pertama adalah komitmen pemerintah untuk melakukan belanja atau government expenditure, baik melalui APBN, APBD ataupun BUMN untuk membeli produk dalam negeri. Kebijakan ini tentunya akan mendorong gairah ekonomi dalam negeri dan menghidupkan UKM yang menjadi penopang signifikan dalam ekonomi nasional kita.
Arahan kedua adalah percepatan hilirisasi industri dalam negeri. Arahan ini tentunya bermanfaat agar semakin optimal nilai tambah yang bisa dilakukan dalam ekosistem ekonomi Indonesia, dan manfaatnya dirasakan oleh para pelaku ekonomi dalam negeri. Kuncinya adalah bagaimana arahan-arahan presiden ini diterjemahkan menjadi program-program nyata di lapangan.
Beberapa catatan dan refleksi ekonomi yang terjadi dalam momen Iedul Fitri ini memberikan optimisme bahwa ekonomi sedang dalam arah yang benar menuju perbaikan dan kembali menanjak seiring selesainya masa pandemi. Kuncinya adalah konsistensi pemerintah mendorong regulasi-regulasi yang pro dengan pertumbuhan ekonomi untuk jangka pendek, dan pro dengan pemerataan untuk jangka panjang. Iedul Fitri menumbuhkan semangat baru, ekonomi sedang menuju arah perbaikan sesuai yang dituju. []