Presiden Jokowi menargetkan pendapatan negara pada tahun 2022 sebesar Rp1840,7 triliun, dengan unsur penerimaan pajak sebesar Rp1.506,9 triliun. Dana ini dibutuhkan untuk membiayai perencanaan belanja pemerintah tahun 2022 sebesar Rp2.708,7 triliun.
Untuk mencapai target pemerintah tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai momentum strategis, untuk menggenjot penerimaan negara, dengan melanjutkan komitmen reformasi birokrasi perpajakan, bersamaan dengan revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU ini merupakan perubahan kelima atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP. Secara maraton, finalisasi konsep perubahan RUU KUP ini terus dibahas oleh eksekutif, legislatif, pelaku usaha, dan masyarakat luas. Dalam konteks pembahasan RUU KUP inilah, kita akan melihat arah orientasi dan komitmen pemerintah dalam membangun reformasi perpajakan yang berkelanjutan.
Tahun 2022 adalah tahun terakhir pemerintah bisa menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid19, yang memungkinkan pemerintah dapat menyusun postur APBN defisit melebihi 3% PDB. Wajar kemudian ketika postur dalam RAPBN 2022 nanti, pemerintah masih akan menambal belanja, dengan hutang sebesar 868 triliun, atau setara 4,85% PDB. Tetapi dengan habisnya masa berlaku UU Nomor 2 tahun 2020 tersebut, pemerintah harus kembali menyusun APBN tahun 2023 dengan hutang maksimal 3% PDB. Disinilah letak strategis pemerintah harus menyiapkan instrumen pemungutan pajak yang bisa diandalkan, dimulai dengan penataan kebijakan melalui revisi RUU KUP ini.
Di sisi lain, ketika kita mengacu data penerimaan pajak dibandingkan PDB, atau tax ratio, mengalami tren penurunan, bahkan pada tahun 2019 dan tahun 2020 single digit, hanya 9,8% dan 8,3%. Untuk mendongkrak penerimaan, pemerintah harus mempunyai instrumen regulasi, administrasi, pengawasan dan SDM yang membutuhkan penguatan-penguatan. Komitmen pemerintah dalam mendesain reformasi perpajakan yang konsisten.
Tetapi, kalau kita lihat dan kritisi draft RUU KUP yang diajukan pemerintah, belum menggambarkan komitmen-komitmen tersebut. Dalam RUU KUP cenderung memuat usulan-usulan yang justru membuat kompleksitas buat wajib pajak dan belum tentu mendorong efektivitas penerimaan. Misalnya usulan tarif PPN bertingkat. Pengenaan multitarif ini akan membuat administrasi wajib pajak menjadi complicated dan berpotensi menciptakan ruang abu-abu di wilayah pengawasan oleh government officer ke depannya.
Contoh kedua, usulan tentang Alternative Minimum Tax (AMT), dimana perusahaan yang merugi juga akan dikenakan pajak. Kalau konteksnya Pajak Penghasilan (PPh), secara substansi melakukan pembayaran pajak penghasilan ketika mempunyai penghasilan. Tetapi ketika rugi, dipaksa bayar pajak penghasilan, menunjukkan pemerintah tidak konsisten dengan definisi PPh itu sendiri. Kalau pendekatan berfikirnya untuk menghindari penghindaran pajak, misalnya, pemerintah seharusnya lebih fokus dengan pengawasan dan penguatan tax compliance.
Contoh ketiga, misalnya pemerintah lebih fokus dengan effort untuk membedakan definisi objek dan bukan objek pajak. Selanjutnya malah menimbulkan pro kontra tentang potensi pengenaan PPN atas sembako, pendidikan, dll.
Pemerintah harusnya lebih fokus dengan ekstensifikasi yang menekankan pada pemungutan pajak yang berkeadilan, yaitu redistribusi pendapatan masyarakat. Untuk memperkuat reformasi perpajakan dan menjadikan pajak sebagai instrumen utama menopang APBN masa depan, seharusnya pemerintah lebih fokus dengan dua isu utama, agar grand design pemerintah bisa berjalan dengan optimal. Pertama adalah komitmen pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).
Konsep pembentukan badan ini sudah diinisiasi dalam usulan-usulan sebelumnya oleh pemerintah ke DPR sejak tahun 2016. Dengan pertimbangan, bahwa perlu penguatan organisasi dan kewenangan, langsung di bawah presiden. Tata kelola organisasi perpajakan modern seperti inilah yang menjadi kebutuhan. Kondisi sekarang, dan dalam usulan terbaru, justru terjadi langkah mundur, dengan kembali mengusulkan otoritas pajak tetap di eselon 1, di bawah Kementerian Keuangan. Indonesia mempunyai patron pengelolaan keuangan negara secara modern seperti halnya negara-negara yang tergabung dalam G20. Sudah seharusnya juga, pemerintah Indonesia mendesain otoritas pajak mempunyai fleksibilitas dan kewenangan yang optimal, dengan menjadi otoritas independen langsung di bawah presiden, seperti halnya pola negara-negara lain dalam G20.
Hal kedua yang menjadi prioritas, adalah urgensi membangun database yang valid dan terintegrasi dalam bentuk Single Identification Number (SIN). Konsep ini pernah didorong oleh Kementerian Keuangan sejak tahun 2002, dengan menggabungkan lebih dari 10 nomor identitas wajib pajak, melalui data numerik dan data spasial. Dengan Pembentukan SIN, pemungutan pajak akan lebih efektif, efisien dan berkeadilan. Tujuan utama pajak ada dua, yaitu budgeteir, atau mengumpulkan uang buat negara, dan regulerend, atau pengatur.
Fungsi budgeteir ini akan tercermin dalam pencapaian tax ratio, seberapa banyak yang bisa dipungut oleh negara berdasarkan perputaran ekonomi secara nasional yang terjadi. Sedangkan fungsi regulerend bermanfaat untuk fungsi keadilan masyarakat dan terjadi ekonomi yang menuju keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Keberhasilan fungsi regulerend ini akan mengurangi kesenjangan atau gini ratio. SIN bisa menjadi instrumen pendukung untuk ini semua.
Dengan beberapa catatan yang ada, dalam proses pembahasan RUU KUP ini kita akan melihat dan mencermati, apakah gagasan reformasi perpajakan bisa dijalankan konsisten, untuk kepentingan bangsa. Jadi, tidak perlu ada pertanyaan, RUU KUP ini untuk kepentingan bangsa, rakyat, atau sekedar hegemoni penguasa menjaga status quo otoritas pajak. []