Tren urbanisasi di Indonesia memberikan pengaruh pada perkembangan kota yang diikuti dengan perubahan dari berbagai aspek. Perubahan atau transformasi kota turut berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, salah satunya dari aspek kependudukan dan perencanaan ruang. Untuk mengetahui perkembangan dan isu perubahan dalam sistem kehidupan penduduk perkotaan terkini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan telah melakukan kajian isu perkotaan, mulai dari konsep dan implementasi pada pelibatan masyarakat atau komunitas kota dalam konteks transformasi. Dalam rangka memperingati World City Day, LIPI membahas topik Transformasi Kota untuk Pembangunan Berkelanjutan: Perspektif Kependudukan dan Perencanaan Ruang, dalam Webinar World Cities Day 2020, pada Kamis, 5 November 2020, melalui aplikasi zoom meeting dan live streaming Youtube, mulai pukul 13.00 WIB.
Jakarta – Transformasi kota sangat diperlukan untuk menuju target pencapaian Sustainable Development Goals (SGDs) atau program pembangunan berkelanjutan khususnya dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan. Menyikapi hal ini, Organisasi dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan pada 31 Oktober sebagai World City Day sebagai upaya kerja sama antar negara untuk mengatasi tantangan urbanisasi dan berkontribusi terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan di seluruh dunia. Tahun ini, World City Day mengambil tema Valuing Our Communities and Cities agar kebijakan yang dibuat dapat lebih menghargai komunitas dan kota itu sendiri secara adil.
Kepala Pusat Penelitian LIPI, Herry Yogaswara mengatakan transformasi kota dalam hal ini adalah sebuah perubahan fundamental yang menyangkut perubahan kerangka pembangunan. Salah satu pendekatan yang perlu dilakukan adalah melibatkan secara utuh seluruh komponen masyarakat termasuk inisiatif yang bersifat informal. “Oleh karena itu pendekatan kependudukan perlu menjadi salah satu aspek penting untuk dipertimbangkan,” tegasnya.
Herry menyebutkan, strategi informal yang ada di level masyarakat, yang dibangun kelompok masyarakat khususnya kelompok rentan di perkotaan, selama ini belum dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan kota yang cenderung bersifat formal. “Sementara, urbanisasi dan keberlanjutan kota perlu dikelola dengan tepat, mengingat kecepatan urbanisasi khususnya pada kota-kota kecil dan menengah menjadi tantangan bagi tata kelola dan perencanaan perkotaan,” imbuhnya. “Sehingga harus disiapkan kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi peningkatan ketimpangan yang mungkin terjadi,” tambahnya.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Luh Kitty Katherina menjelaskan bahwa studi tentang urbanisasi, khususnya di negara berkembang, terfokus pada kota-kota utama dari suatu negara yang mengalami proses urbanisasi sangat cepat, membentuk kawasan perkotaan yang besar atau megaurban, meninggalkan kota-kota lain di negaranya. “Selain sebagai tempat konsentrasi penduduk, kota-kota tersebut memiliki kontribusi ekonomi yang sangat tinggi terhadap perekonomian nasional. Namun saat ini, peta urbanisasi mulai bergeser,” tegas Kitty.
“Pergeseran ini menunjukkan bahwa saat ini kota kecil dan menengah memiliki peran penting sebagai katalis dan pusat yang dapat menarik masyarakat untuk datang dan bertempat tinggal. Kota kecil dan menengah berpotensi memiliki peran penting dalam penyeimbang wilayah dan pembangunan pedesaan jika direncanakan dan dikelola dengan baik,” ujarnya. “Di Indonesia, geliat perkembangan kota menengah atau yang sering juga disebut sebagai kota lapis kedua (secondary cities) mulai terlihat sekitar 1970-an,” sebut Kitty
Dari aspek kebutuhan sanitasi di pemukiman penduduk, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Rusli Cahyadi mengungkapkan, penetapan sasaran program sanitasi masyarakat di Indonesia mencerminkan pengaplikasian prinsip pembangunan berbasis kebutuhan. “Masyarakat yang berpenghasilan rendah, tinggal di permukiman padat penduduk, serta kondisi lingkungan yang rawan sanitasi dianggap memiliki kebutuhan (need) yang lebih tinggi. Oleh karenanya hal tersebut perlu menjadi prioritas dalam pembangunan sarana sanitasi berbasis komunitas,” tegas Rusli.
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indraprahasta, menerangkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi masuk ke beragam sendi dan aspek kehidupan, termasuk perkotaan. “Fusi antara teknologi dan sistem perkotaan inilah yang kemudian melahirkan label Smart City,” terangnya.
“Ada beberapa pembelajaran menarik dari kasus anekdotal Smart City di Indonesia, yaitu: (1) Masyarakat lebih banyak ditempatkan sebagai user; (2) peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi baik dalam proses perencanaan maupun sebagai Sensor Manusia; (3) Upaya pelibatan masyarakat membutuhkan proses sosialisasi dan pembelajaran yang tidak instan,” ungkap Galuh.
Sivitas Terkait : Dr. Herry Jogaswara MA