Jakarta – Sejak disahkannya UU Cipta Kerja yang juga dikenal sebagai Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 oleh Pemerintahan Pusat dan DPR RI, polemik narasi UU Cipta Kerja menjadi topik utama diskursus di banyak sektor masyarakat sipil. Pengesahan UU Cipta Kerja yang terburu-buru ini memperlihatkan tidak adanya komunikasi juga keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil Indonesia, khususnya kaum buruh, petani, nelayan serta masyarakat pesisir lainnya.
Sejak awal diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 sampai dengan disahkannya pada Oktober 2020, proses pembahasan isi dan narasi UU Cipta Kerja tidak pernah dipublikasikan secara transparan. Ditambah lagi, pembahasan UU Cipta Kerja juga tidak melibatkan publik juga masyarakat yang terdampak, seperti nelayan, perempuan nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Padahal dengan adanya UU Cipta Kerja ini, masyarakat pesisir Indonesia termasuk di dalamnya adalah nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir menjadi salah satu aktor yang paling terdampak dan terancam kehidupannya. Akan tetapi ironisnya, hanya para asosiasi pengusaha dan pengusaha pemilik kepentingan yang masuk di dalam Satuan Gugus Tugas (Satgas) Omnibus Law bentukan Pemerintah Pusat.
Hal ini tentu memperlihatkan bahwa UU Cipta Kerja hanya akan membawa serta memuluskan kepentingan dari kelompok-kelompok elit Indonesia saja, seperti para pengusaha pemegang kepentingan dan para investor. “Tidak adanya keterlibatan publik dan masyarakat yang terdampak dalam proses perumusan dan pembahasan UU Cipta Kerja ini memperlihatkan bahwa proses pengesahan UU Cipta Kerja telah menyalahi konstitusi yang seharusnya menempatkan rakyat Indonesia sebagai pemegang kepentingan utama dalam pembuatan kebijakan dan undang-undang di Indonesia,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.
Tidak hanya itu, telah disebutkan sejak awal inisiasi UU Cipta Kerja, tujuan utama dibentuknya undang-undang ini adalah untuk membuka keran investasi sebesar-besarnya dalam rangka mendorong peningkatan perekonomian nasional Indonesia. Namun ironisnya, praktik pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah ini tidak berpihak dengan kepentingan rakyat kecil, khususnya masyarakat pesisir, apalagi dalam permasalahan lingkungannya.
Proyeksi Ancaman Omnibus Law UU Cipta Kerja
Pada dasarnya, praktik eksploitasi sumber daya alam dan perampasan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah banyak terjadi selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Namun dengan disahkannya UU Cipta Kerja, hal ini hanya akan meningkatkan praktik perampasan, serta mengakselerasi penghancuran lingkungan juga sumber daya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Dengan meningkatnya praktik perampasan ruang melalui UU Cipta Kerja ini, hal ini juga berdampak pada semakin meningkatnya konflik agraria yang terjadi di tingkatan akar rumput serta praktik-praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap nelayan, perempuan nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya,” jelas Susan Herawati.
Ironisnya, diskursus polemik terkait UU Cipta Kerja masih terfokus pada diskursus permasalahan pada sektor ketenagakerjaan saja padahal undang-undang ini memiliki kecacatan yang lebih kompleks dan menyasar banyak sektor, khususnya sektor perikanan dan kelautan. Salah satu contohnya adalah penghilangan identitas politik nelayan tradisional. Melalui UU Cipta Kerja, pemerintah Indonesia seakan tidak lagi mengakui identitas politik dari nelayan tradisional dan menempatkan statusnya sama dengan pelaku usaha perikanan dalam skala yang lebih besar.
Secara lebih jelasnya, UU Cipta Kerja merevisi ketentuan mendasar yang melekat pada nelayan kecil, sehingga tidak ada ketentuan yang jelas antara nelayan kecil dengan nelayan besar. Di dalam revisi tersebut menyebutkan bahwa “nelayan kecil” adalah “orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan”. Sedangkan di dalam UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 (tentang Perikanan), Pasal 1 ayat (11) dengan jelas menyebutkan dan mengkategorikan nelayan kecil adalah yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 5 GT.
Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil sangat penting karena terkait perlakuan khusus untuk mereka, seperti berhak mendapat subsidi, modal, dan sebagainya dari pemerintah. Nelayan kecil juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan. Dengan dihapusnya kriteria tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru karena nelayan besar juga dapat menikmati perlakuan khusus yang selama ini hanya diberikan terhadap nelayan kecil.
Tidak hanya itu, banyak sekali pasal-pasal perlindungan dan pemberdayaan terhadap nelayan yang kemudian dipangkas dan dirubah narasinya sehingga memberikan adanya ambiguitas persepsi terhadap pasal-pasal tersebut. Perampasan kekuasaan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah juga akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap beberapa kebijakan yang pada awalnya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, seperti kebijakan RZWP3K yang kemudian kewenangannya diambil alih oleh Pemerintah Pusat. Hal ini tentu akan mempermudah investor untuk mendapatkan perizinan dalam mengeksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, praktik privatisasi dan liberalisasi yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin marak dengan adanya UU Cipta Kerja, seperti yang tertera pada Pasal 18 angka 22 yang menyebutkan bahwa “dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”. Dalam pasal tersebut, UU Cipta Kerja menghapus kewajiban mengutamakan kepentingan nasional dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang sebelumnya diatur pada Pasal 26A ayat (2) UU No.27 Tahun 2007 jo UU No.1 Tahun 2014. Pada poin ini, UU Cipta Kerja:
- Menciptakan pintu masuk yang luas kepada investor untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang terkandung dalam pulau-pulau kecil
- Memperparah konflik perampasan ruang hidup dan sumber daya alam serta privatisasi yang yang telah terjadi diberbagai pulau-pulau kecil
Proyeksi lain dari disahkannya UU Cipta Kerja dalam sektor perikanan adalah akan adanya peningkatan praktik IUU Fishing di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sanksi yang semakin lemah kepada kapal-kapal berbendera asing yang melakukan praktik IUU fishing dan mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia. Di dalam UU No.31 Tahun 2004 (tentang Perikanan) Pasal 93 dengan tegas menyebutkan bahwa sanksi yang diberikan terhadap kapal berbendera asing yang melakukan pelanggaran dalam melaut dan/atau menangkap ikan adalah sanksi pidana dan sanksi denda. Sedangkan di UU Cipta Kerja sanksi yang diberikan hanya sekedar sanksi administratif saja. Secara lebih lanjut Susan menyatakan bahwa, “Apabila sanksi terhadap pelaku IUU fishing juga pelanggaran HAM di atas kapal penangkapan ikan hanya bersifat administrasial saja, maka para pelaku tersebut dapat dengan mudah untuk kembali ke dalam industri perikanan dengan nama yang berbeda. Namun praktek produksi yang eksploitatif terhadap sumber daya laut juga pada pekerjanya akan terus berlangsung”.
“Oleh karena itu, sudah seharusnya seluruh lapisan masyarakat Indonesia dapat memahami isu UU Cipta Kerja ini dalam konteks yang lebih luas dan berjuang bersama untuk menolak disahkannya UU Cipta Kerja,” pungkas Susan.