Menteri Keuangan mengatakan pemerintah berencana akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan, dengan tujuan untuk mengejar target pajak 2022, dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021, 4 Mei 2021.
Sebuah opsi kebijakan pragmatis yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan, dan cenderung mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal. Indikator yang cukup jelas, pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 2021 masih terkonstraksi, di kisaran -0,74%.
Kalau kita mengacu pada UU PPN, pasal 7 menyebutkan bahwa tarif PPN adalah sebesar 10%.
Tetapi, pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menaikkan tarif sampai dengan 15%. Artinya, tanpa proses persetujuan DPR, pemerintah bisa dengan serta merta menaikkan tarif PPN ini.
Dari sisi legal dan payung hukum, pemerintah bisa melakukan penyesuaian tarif ini.
Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah kebijakan pemerintah ini tepat dalam masa pandemi seperti ini?
Di sisi lain, pemerintah sudah memprediksi bahwa ekonomi masih membutuhkan waktu untuk pemulihan secara normal setelah tahun 2022 nanti, dengan disetujuinya Perpu Nomor 1 tahun 2020, yang disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi Covid-19.
Data penerimaan pajak tahun 2020, PPN dalam negeri memberikan kontribusi pemasukan sebesar 298,4 triliun dan PPN Impor sebesar 140,14 triliun. Total PPN sejumlah 439,14 triliun ini setara dengan 36,63% pemerimaan pajak.
Data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2020 sebesar 15.434,2 triliun. Perputaran ekonomi yang masuk 15 besar dunia.
Pemerintah seharusnya lebih fokus dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy. Upaya ini akan lebih mendorong kenaikan pemasukan buat negara, menjaga sustainability penerimaan dan memberikan keadilan buat masyarakat. Fungsi pajak akan secara optimal, selain sebagai budgeteir, pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, pengatur ekonomi dan sebagai redistribusi pendapatan yang berkeadilan.
Dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, lebih berorientasi jangka panjang dibandingkan dengan sekedar opsi menaikkan tarif PPN, yang cenderung memberikan beban berlebih kepada masyarakat.
Opsi kenaikan PPN, adalah opsi kebijakan yang cenderung kontraproduktif dan tidak pro dengan masyarakat luas di masa pandemi ekonomi yang belum selesai.
Jakarta, 7 Mei 2021
Ajib Hamdani (Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI)