Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) meminta kepada Pemerintah agar mendefinisikan kembali dengan jelas dalam juklak/juknis dengan rinci dan diperluas atas segala barang-barang Kebutuhan Pokok dan Penting sebagai kebutuhan Sehari-hari bagi masyarakat (red. Konsumen) untuk tidak dikenakan PPN 11% per 01 April 2022, terutama saat bersamaan sebagian besar masyarakat memasuki bulan suci Ramadhan dan menjelang HBKN, Idul Fitri 1443 H.
Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey mengatakan,” kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% tersebut pasti memberikan dampak berarti bagi konsumsi masyarakat, disaat bersamaan terjadi fluktuasi kenaikan Harga Jual beberapa barang Kebutuhan Pokok, Harga BBM & LPG, Biaya Tol, per 01 April 2021 memasuki Puasa dan menjelang Idul Fitri. Potensi restrained mode atau menunda konsumsi rumah tangga non kebutuhan dasar, berpotensi terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, menunda atau menyimpan dana bagi kelompok masyarakat menengah keatas dan menahan atau tidak mampu belanja lebih dari kebutuhan dasar bagi kelompok sosial ekomomi status (red. SES) marginal.
“Kenaikan beberapa kebutuhan pokok masyarakat ini, bila ditambah PPN 11% misalnya untuk Minyak Goreng yang termasuk bahan pokok yang dikenakan PPN 11% (karena Minyak Goreng tidak termasuk 11 bahan pokok yang belum dikenakan PPN 11% dalam UU HPP/21) maka potensi bergeraknya harga Migor akan terjadi kembali dan berdampak pada peningkatan Inflasi yang berpotensi meningkat lagi dari bulan2 sebelumnya (red. pada bulan Maret 2022 lalu sebelum kenaikan PPN 11%, posisi dan status % tase inflasi berada 0.66% m to m atau 2.64% y on y, tertinggi sejak tahun 2019),” jelas Roy.
“Di sisi lain, 11 barang Kebutuhan Pokok a.l : Beras/Gabah, Gula, Sayur, Buah2an, Kedelai, Cabe, Garam, Susu, Telur, Jagung, yang sebelumnya di kecualikan dari PPN, saat ini melalui UU HPP no.7/2021 telah dirubah dan dijadikan objek PPN, walaupun pengenaan tarif 11% nya belum diberlakukan per 01 April 2022 dan karena barang2 kebutuhan pokok tersebut telah menjadi objek PPN sehingga para pedagang yang menjualnya antara lain di pasar tradisional/pasar rakyat akan berkewajiban menjadi PKP dengan kewajiban menerbitkan Faktur Pajak & melakukan Laporan Pajak PPN setiap bulannya, yang berpotensi diperlukan tambahan tenaga administrasi, yang akan berdampak menambah biaya overhead yang akan dikenakan pada Harga Jual barang Pokok & Penting kepada Konsumen.
Hingga saat ini kita masih menunggu Juklak/Juknis melalui PP atau KMK/PMK atas UU HPP/21, untuk mendefinisikan secara detail atas bahan pokok & penting (BAPOKTING) untuk perubahan atau penambahan jenis barang kebutuhan pokok dan penting yang saat ini tidak/belum dikenakan PPN 11%.
“Roy menerangkan pula,” bahwa periode Ramadhan & HBKN 2022 ini merupakan harapan bagi berbagai industri dan sektor usaha dari hulu hingga hilir, termasuk pelaku usaha Ritel Modern untuk mendorong peningkatan penjualan melalui belanja dan konsumsi masyarakat Seperti pada Kuartal ke II (dua) pada April-Mei 2021 ketika kita mencapai pertumbuhan ekonomi mencapai 7.07% m to m (red. tertinggi dalam 1 dekade ini). Kami tentunya mendukung UU HPP/21 yang telah ditetapkan Pemerintah dan di ratifikasi DPR akhir tahun 2021 lalu, namun pemberlakuan tarif PPN 11% disaat ini apakah sudah tepat momentumnya atau masih dapat di deskresikan beberapa saat lagi, untuk meredam sentimen psikology publik (red. ‘public shock’) hingga ekonomi di Indonesia telah kondusif optimal setelah diterpa pandemik lebih dari 2 (dua) tahun ini.
Kita semua masih dalam masa anomali karena pandemi masih ditanggulangi bersama melalui disiplin prokes dan menggiatkan vaksinasi ke II & III, artinya APRINDO berharap diperlukan kearifan dan kerelevanan untuk memperhatikan situasi kondisi atas belum stabilnya perekonomian Indonesia dikarenakan masa pandemi ini, dimana pertumbuhan ekonomi masih sangat berfluktuasi dikala Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tercatat y on y pada tahun 2021 : 3.69% dan tahun 2020 sebesar 2.74% dan saat tahun 2022 ini, kita bersemangat berupaya mencapai proyeksi sekitar 5-5.4%,” ujar Roy.
Ke depan extensifiikasi Pajak diperlukan melalui penambahan Wajib Pajak pada berbagai lapisan masyarakat serta Objek Pajak pada seluruh Produk & Jasa yang relevan adaptif di berbagai sektor usaha sehingga “level at same playing field” tercapai tanpa terkecuali sebagai rangkaian Reformasi & Paradigma Baru Perpajakan pada era ‘new reality & new normal’.
Urgensi diperlukannya reformasi perpajakan antara lain pengenaan objek pajak pada perdagangan pasar online/e-Commerce yang saat ini sudah dicabut dan belum ditetapkan kembali, PPN penjualan barang melalui sosial media (red. trade post border) dan jual beli barang melalui jasa titip/jastip, pengungkapan asset repatriasi, dlsb yang telah kita ketahui dan lainnya yang masih dapat dijabarkan, kiranya juga dapat menjadi fokus dan perhatian intensif dari Pemerintah, di saat ‘windfall’ berbagai komoditi SDA meningkat maka kebijakan fiskal yang tepat menjadi ujung tombak selain peningkatan investasi dan menahan print money (red. mmt), dalam perbaikan defisit transaksi berjalan saat ini sebesar -2.22% dari PDB, menekan hutang luar negeri yang pada akhir Januari 2022 senilai 5.925 trilyun serta upaya meningkatkan tax ratio dari tahun sebelumnya 9.11% mencapai target 9.5% di tahun 2022 ini dan memperkasakan APBN 2022 senilai 2.714,2 trilyun diantaranya agar dapat tetap mengalokasi kan dana bagi pemulihan ekonomi nasional, yang seharusnya lebih efisien di tahun 2022 ini seiring saat ini mulai melandainya pandemi,” ungkap Roy mengakhiri pembicaraannya.