Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan produk hilir turunan minyak sawit. Hal ini didukung ketersediaan bahan baku industri yang melimpah, dimana produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO) mencapai 52,14 juta ton pada tahun 2020.
Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa merupakan potensi pasar yang sangat besar untuk produk hilir minyak sawit pangan, personal wash, personal care, hingga biofuel. “Indonesia berpredikat sangat unggul pada supply and demand minyak sawit dunia,” kata Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika di Jakarta, Kamis (21/10).
Plt. Dirjen Industri Agro menyebutkan, beberapa capaian kuantitatif sektor industri kelapa sawit bagi ekonomi nasional, di antaranya menyumbang devisa ekspor lebih dari Rp300 triliun per tahun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang.
“Adapun capaian kualitatifnya, antara lain menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, menggerakkan aktivitas produktif daerah 3T (terluar, terpencil, dan tertinggal), serta menjaga kedaulatan ekonomi dan teritorial di perbatasan negara,” paparnya.
Sementara itu, Putu menegaskan, Kemenperin fokus untuk menjalankan kebijakan hilirisasi industri berbasis minyak sawit. Upaya strategis ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal sekaligus mendorong masuknya investasi dan pendalaman struktur manufaktur dalam negeri.
Indikator keberhasilan hilirisasi industri minyak sawit dalam negeri adalah ratio volume ekspor antara bahan baku (CPO/CPKO) dibandingkan produk olahan. Pada kurun waktu 2016 – 2020, ratio volume ekspor bahan baku dengan produk olahan berada di tingkat 20% vs. 80%. Pada tahun 2021 s.d. bulan Agustus 2021, ratio volume ekspor meningkat menjadi 9,27% vs. 90,73% (data GAPKI diolah Kemenperin).
“Saat ini, lebih dari 160 ragam jenis produk hilir olahan minyak sawit telah mampu diproduksi di dalam negeri, di antaranya untuk keperluan pangan, fitofarmaka, bahan kimia (oleokimia), hingga bahan bakar terbarukan (biodiesel). Angka ragam jenis ini mengalami peningkatan yang signifikan dari ragam jenis pada tahun 2011 yang hanya mencapai 54 jenis produk saja,” tambahnya.
Kemenperin memproyeksi nilai ekonomi sektoral industri perkelapasawitan dari hulu sampai hilir mencapai Rp750 triliun per tahun, di mana Rp. 300 triliun disumbang dari devisa ekspor. “Angka ini belum termasuk multiplier effect dari sektor penunjang jasa industri sampai jasa terkait lainnya yang timbul karena keberadaaan industri perkelapasawitan di seluruh Indonesia,” ujar Putu
Di masa pandemi ini, lanjut Putu, produk oleokimia Indonesia juga diminati konsumen global sebagai bahan sanitasi. Hal ini berdampak pada kinerja ekspor produk personal wash pada periode Januari-Mei 2021 yang tumbuh sebesar 10,47% dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Volume ekspor selama lima bulan tahun ini mencapai 1,64 juta ton atau senilai USD1,53 miliar.
“Pencapaian sektor industri hilir ini perlu diapresiasi dengan dua sudut pandang, yaitu ekonomi dan kontribusi pada kemanusiaan global karena produk oleokimia sabun/personal wash digunakan oleh penduduk dunia untuk memutus persebaran virus SARS-COV-2 penyebab COVID-19,” imbuhnya.
Penghela pemulihan ekonomi
Di samping itu, sumber bahan baku industri hilir sawit berasal dari perkebunan rakyat, dengan luasan mencapai 44% atau 7,17 juta hektare dari total 16,3 juta hektare luas kebun sawit Indonesia. “Rantai nilai industri kelapa sawit telah tersambung mulai dari kebun, pabrik kelapa sawit, industri hilir hingga konsumen akhir, menjadikan sektor ini berpotensi sebagai penghela pemulihan ekonomi nasional dalam rangka persiapan skenario pascapandemi,” ujar Putu.
Oleh karena itu, Kemenperin menjadikan industri pengolahan kelapa sawit sebagai salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan, sehingga perlu dijaga aktivitas produksinya selama masa pandemi. Melalui penerbitan dan pengawasan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), industri hilir kelapa sawit dikategorikan sebagai sektor kritikal yang dapat beroperasi 100% selama masa pandemi dengan kewajiban menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Kami juga memfasilitasi melalui pemberian Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sekitar USD6 per MMBTU sesuai Perpres No. 40/2016. Fasilitas tersebut telah diimplementasikan lebih dari 20 pabrik oleokimia turunan minyak sawit dari 11 perusahaan,” sebut Putu.
Plt. Dirjen Industri Agro menekankan bahwa langkah Kemenperin untuk mengadvokasi penentuan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO dan turunannya merupakan strategi yang sangat jitu dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Sejak tahun 2011, Kemenperin konsisten dalam mengusulkan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya secara progresif sesuai rantai nilai industri dan harga CPO internasional sebagai harga referensi bulanan.
“Struktur pentarifan tersebut dinilai lebih pro-industri pengolahan,” tegas Putu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai Tarif Pungutan Dana Perkebunan, yaitu PMK No. 133/2015 juncto PMK 76/2021 dan PMK tentang Tarif Bea Keluar yaitu PMK No. 128/2011 juncto PMK No. 166/2020.
Melalui dua kebijakan strategis, yaitu Harga Gas Bumi Tertentu untuk sektor industri oleokimia, dan Tarif Pungutan Ekspor progresif, membawa dampak positif pada kurun waktu tahun 2012 – 2014 dan tahun 2017-2020, yakni terjadi pertumbuhan investasi industri hilir pengolahan sawit yang menggembirakan.
“Rencana perluasan investasi industri oleokimia di Kawasan Industri Sei Mangkei menjadi contoh pencapaian hasil kebijakan pro-industri tersebut, demikian juga dengan investasi industri biodiesel di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo,” ungkap Putu.
Kemenperin juga mendukung langkah pemangku kepentingan untuk menjadikan produk hilir kelapa sawit Indonesia berpredikat ramah lingkungan. Industri perkelapasawitan Indonesia diwajibkan mematuhi prinsip ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang mengatur best practice berkelanjutan (sustainable) dan ketertelusuran tinggi (traceable). Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan citra ramah lingkungan dan lestari berkelanjutan sehingga sejalan dengan tren green products yang disukai oleh konsumen global serta memperkuat akses pasar ekspor produk kelapa sawit Indonesia.
“Kami juga mendorong penggunaan teknologi informasi berbasis ICT dalam kerangka program Making Indonesia 4.0, dalam hal operasional industri di tingkat shop floor dan juga dalam hal ketertelusuran (traceability) produk hilir kelapa sawit sesuai dengan standar sustainable palm oil yang berlaku global,” tutup Putu.