Jakarta (30/9) – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI menolak hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang disepakati menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) karena tidak memenuhi prinsip keadilan dan memberatkan rakyat. Dalam pengambilan keputusan di Komisi XI FPKS memberikan catatan penolakan utamanya terhadap pengenaan pajak kebutuhan pokok, jasa Pendidikan, pelayanan sosial, jasa Kesehatan medis dan lainnya.
“Di saat berbagai insentif dan fasilitas perpajakan diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi, Pemerintah justru terus mengejar sumber-sumber perpajakan dari masyarakat berpendapatan rendah. Sistem administrasi perpajakan yang tidak efisien terus menjadi permasalahan dalam pembangunan.” Disampaikan oleh Ecky Awal Munawar saat membacakan pandangan mini FPKS DPR RI di Komisi XI pada hari Rabu, (30/9/2021) di Jakarta.
Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Mendorong agar tarif Pajak Pertambahan Nilai setinggi-tingginya tetap 10%.
“Kenaikkan tarif PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri. Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional” tegas Ecky.
Fraksi PKS berpendapat bahwa penghapusan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN, seperti barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi oleh rakyat banyak, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, jasa keagamaan dan lainnya, akan membebani rakyat serta berdampak negatif terhadap kesejahteraan dan perekonomian. Seharusnya barang dan jasa tersebut masih dikecualikan sebagai barang dan jasa kena pajak, sehingga barang dan jasa tersebut bukan menjadi objek PPN
Anggota Komisi XI ini juga menambahkan, Fraksi PKS menolak pasal-pasal terkait dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak sebagaimana yang dipahami publik sebagai program “tax amnesty jilid 2” karena menunjukan kebijakan perpajakan kita yang semakin timpang dan jauh dari prinsip-prinsip keadilan.
“Pada tahun 2016 Fraksi PKS secara resmi menolak tax amnesty yang didasari oleh sikap sesuai platform kebijakan pembangunan PKS dimana kebijakan perpajakan adalah menegakkan prinsip keadilan (fiscal justice).”
Kebijakan tax amnesty adalah kebijakan yang tidak mencerminkan prinsip tersebut. Pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tahun 2016 tidak terbukti dapat meningkatkan penerimaan negara jangka panjang. Terbukti, pada periode 2018 rasio perpajakan hanya mencapai 10,2% dan 2019 hanya mencapai 9,8 %.