Kontroversi serta merta menyeruak ketika Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa pemerintah telah mengusulkan dan akan membahas dengan DPR RI terkait kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Kebijakan ini mengingatkan kita dengan UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang waktu itu berlaku pada tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017.
Pengampunan akan selalu mempunyai kontradiksi dengan keadilan. Karena pada prinsipnya kebijakan pengampunan ini diperuntukkan untuk orang atau pihak yang “salah” kemudian mendapat fasilitas. Sehingga wajib pajak yang sebelumnya merasa patuh, akan merasa rugi dan tidak adil.
Hal kedua yang perlu dicermati adalah potensi melebarnya gini ratio. Karena kelas menengah atau atas yang mempunyai aset, akan semakin menggelembung. Akan terdata jumlah kekayaan yang sebelumnya “tersembunyikan”. Angka gini ratio yang sementara di kisaran 0,38 berpotensi merangkak naik. Apalagi dalam masa pandemi, dimana para UKM sedang mengalami tekanan berat dan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan di kelas bawah, karena daya beli yang terus terkonstraksi.
Tetapi, di sisi lain, secara ekonomi maupun politik, dibutuhkan semua instrumen kebijakan yang bisa menambah, mendongkrak, bahkan menambal ekonomi nasional.
Pertama, dari sudut pandang keuangan negara, pada tahun 2020 terjadi defisit 6,1% dari PDB. Tahun 2021 diproyeksikan masih terjadi defisit kisaran 5,7%. Tahun 2022, adalah tahun terakhir pemerintah bisa memanfaatkan UU Nomor 2 tahun 2020, masih perlu menambal defisit APBN dengan kisaran 4,51%-4,85%.
Tahun 2023, Keuangan Negara maksimal hanya bisa defisit maksimal 3% dari PDB. Dibutuhkan kebijakan terobosan untuk bisa membuat tren penurunan defisit ini, baik secara kebijakan ekonomi maupun kebijakan politik.
Pertimbangan kedua, dari sudut pandang kebutuhan likuiditas untuk dunia usaha, serta stabilisasi supply dan demand dalam siklus ekonomi. Indonesia mempunyai keunggulan dengan mempunyai lebih dari 270 juta penduduk, nomor 4 besar dunia. Ini adalah local domestic demand yang menjadi penopang utama untuk Indonesia bisa rebound dengan cepat pasca pandemi. Tetapi perputaran ekonomi ini membutuhkan likuiditas yang semakin banyak mengalir di masyarakat. Tax amnesty bisa menjadi salah satu jalan aliran likuiditas tersebut. Pada tax amnesty jilid I, terjadi dana repatriasi sebesar 147 triliun, dan deklarasi harta sebesar 4.813,4 triliun. Dengan persiapan yang lebih matang, tax amnesty jilid II akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Pertimbangan yang ketiga, tentang kepastian hukum atas piutang pajak yang terus tercatat di sistem keuangan negara. Satu sisi ini membebani otoritas pajak, karena kesuksesan penagihan piutang pajak menjadi salah satu key performance indicator kesuksesan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan sisi lain, dari wajib pajak, terjadi latar belakang yang terlalu complicated sehingga muncul hutang pajak tersebut. Belum tentu karena kesalahan wajib pajak. Misalnya, karena wajib pajak belum menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak memungut PPN, tetapi mereka ditetapkan secara jabatan dan kemudian harus membayar semua kewajiban PPN nya. Padahal mereka tidak memungut, tetapi mereka harus setor. Ini adalah sekedar salah satu contoh, dari banyak latar belakang yang lain. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan sebuah jalan tengah. Misalnya ada pengurangan sanksi atau potongan pokok pajak.
Kebijakan tax amnesty ini sebenarnya juga sering diberikan oleh pemerintah daerah untuk konteks pajak daerah. Sesuai dengan kewenangan yang melekat, Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mengatur bahwa Pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II, mengelola Pajak Daerah. Tax Amnesty level daerah ini misalnya pemutihan pajak kendaraan bermotor, diskon pembayaran PBB, dll.
Dengan kontroversi yang ada, secara kepentingan nasional, tax amnesty jilid II menjadi sebuah alternatif kebijakan yang layak dilanjutkan.
Jakarta, 23 Mei 2021
Ajib Hamdani (Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI)