JAKARTA: Untuk keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah menjadi berpenghasilan tinggi, Indonesia perlu terus menambah jumlah entrepreneurnya. Para entrepreneur tersebut berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja. Ini pada gilirannya akan mendorong peningkatan kinerja perekonomian suatu negara. Jika perekonomian negara tersebut terus meningkat, ini akan berkontribusi pada terciptanya masyarakat madani dan sejahtera, serta stabilitas bagi negara tersebut.
Merujuk laporan Global Entrepreneuship Index 2018 (GEI) yang dirilis oleh The Global Entrepreneurship Development Institute (GEDI), Indonesia masih menempati peringkat ke-94 dari 137 negara. Merujuk laporan GEI, Indeks Entrepreneurship Indonesia masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Brunei Darussalam #53, Malaysia (peringkat 58), Thailand #71, bahkan Filipina #84, dan Vietnam #87.
Laporan GEI ini membahas keterkaitan antara entrepreneurship, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan. Menurut GEDI, entrepreneurship berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja, kinerja ekonomi dan stabilitas di negara tersebut.
Laporan GEI 2018 juga memasukkan data tentang Human Capital Score. Merujuk laporan tersebut, Human Capital Score Indonesia juga masih terbilang rendah, yakni 16%. Bandingkan dengan Thailand yang Human Capital Score-nya 49%, Malaysia 63% atau AS yang 100%.
Kondisi itulah yang membuat Prof. Neil Towers, project leader Growth Indonesia – a Triangular Approach (GITA), menyatakan bahwa masih Indonesia perlu terus menambah jumlah entrepreneurnya. “Skor Human Capital Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tersebut,” kata Prof. Towers yang juga pakar retail marketing dari University of Gloucestershire, United Kingdom, dalam Konferensi Internasional GITA yang diselenggarakan secara virtual pada 8-9 April 2021.
Prof. Towers menambahkan, salah satu tempat untuk mencetak pengusaha-pengusaha baru adalah perguruan tinggi. Di beberapa negara maju, memang banyak pengusaha yang lahir di lingkungan kampus. Mark Zuckerberg mendirikan Facebook saat masih kuliah di Harvard University. Perusahaan-
perusahaan seperti Yahoo! Inc., Google, Facebook, FedEx adalah bisnis-bisnis yang lahir dari kampus. Di Amerika Serikat, Stanford University adalah universitas yang banyak melahirkan pebisnis dari lingkungan kampus.
Upaya untuk melahirkan lebih banyak pengusaha dari lingkungan kampus itulah yang dilakukan oleh konsorsium GITA yang dipimpin oleh Prof. Towers. Konsorsium ini beranggotakan tujuh universitas dari Indonesia dan empat universitas dari Eropa. Pada konferensi internasional GITA, Prof. Towers selaku melaporkan bahwa GITA telah melahirkan 112 perusahaan rintisan (startup) baru dengan nilai bisnis mencapai Rp115,4 miliar. Ini adalah bukti nyata keberhasilan GITA dalam melahirkan pengusaha-pengusaha baru dari lingkungan kampus.
Selain itu, pada ajang konferensi internasional tersebut konsorsium GITA juga mengumumkan pemenang kompetisi mahasiswa tingkat nasional untuk proposal bisnis yang berkelanjutan dan pembentukan asosiasi yang melibatkan perguruan-perguruan tinggi anggota konsorsium GITA.
Ekosistem Kewirausahaan
Menurut catatan Financial Times (2015), sebanyak 46% lulusan dari program MBA Babson College, AS, langsung membuka usaha sendiri setamat kuliah. Lalu, 34% lulusan Stanfords Graduate School of Business juga langsung berbisnis sendiri setelah lulus. Di Harvard Business School, sebanyak 28% lulusannya yang langsung berwirausaha. Sementara di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management angkanya mencapai 26%.
Di Inggris, ada 27% dari lulusan Oxford University yang memilih untuk berkarier sebagai pengusaha. Sementara, di London Business School sebanyak 25% lulusannya juga memilih berkarier sebagai wirausaha.
Di masa mendatang, angka ini diperkirakan bakal terus meningkat. Di Inggris, sebagaimana dikutip www.sifted.eu, saat ini sekitar 25% mahasiswa di sana berencana memulai usaha sambil terus kuliah. Itu survei tahun 2019. Angka tersebut meningkat lebih dari 30% ketimbang tahun 2016. Hasil survei inilah yang mendorong banyak kampus di Inggris mendirikan inkubator bisnis dan program-program lainnya untuk mendorong mahasiswanya agar berani mendirikan perusahaan rintisan, terutama yang berbasis teknologi.
Rektor President University Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto mengatakan jika ingin menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara seperti AS, Inggris, atau Jerman, Indonesia harus menjadikan kampus-kampusnya sebagai kawah candradimuka untuk mencetak lahirnya pengusaha-pengusaha baru.
“Untuk sampai ke sana, tentu banyak hal yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi. Kami di President University, misalnya, bahkan sampai merombak kurikulum dengan memasukkan mata kuliah Entrepreneurship sedini mungkin. Kami juga mendirikan inkubator bisnis, menggandeng para praktisi
bisnis untuk menjadi mentor dan investor bagi bisnis-bisnis yang dirintis oleh mahasiswa.”
Itu semua belum cukup. Lanjut Prof. Jony, kampus juga perlu memiliki paradigma kewirausahaan dan harus mampu membangun ekosistem entrepreneurial yang melekat dalam praktik bisnisnya sehari-hari. Intinya, kampus perlu bertransformasi menjadi Entrepreneurial University.
Upaya kampus-kampus untuk melahirkan lebih banyak pengusaha baru tersebut mendapat sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D., menjelaskan bahwa melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka perguruan tinggi dituntut untuk mempersiapkan kompetensi mahasiswanya. Salah satunya adalah kompetensi untuk menjadi seorang wirausahawan.
“Salah satu program dari Merdeka Belajar, Kampus Merdeka adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studinya selama tiga semester. Selama kurun waktu tersebut, mahasiswa boleh memilih serangkaian aktivitas. Di antaranya, melakukan kegiatan wirausaha dengan bimbingan dosen,” papar Prof. Nizam.
Prof Ismunandar, Pelaksana Tugas Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan serta staf ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, menjelaskan Indonesia baru bisa menjadi negara maju kalau jumlah pengusahanya terus bertambah.
“Saat ini baru sekitar 3% dari seluruh penduduk Indonesia yang menjadi pengusaha. Jumlah ini masih terlalu sedikit. Amerika Serikat dan Jepang menjadi negara maju karena lebih dari 10% penduduknya yang berwirausaha. Untuk itu Kemenristek/BRIN akan terus mendorong kampus-kampus agar mampu mencetak lebih banyak lagi pengusaha baru. Untuk itu kampus perlu membangun ekosistem kewirausahaan.”
***
Tentang GEI dan GEDI
GEI adalah Global Entrepreneurship Index, sebuah laporan dari hasil riset yang dilakukan oleh The Global Entrepreneurship Development Institute (GEDI). Laporan tersebut dipublikasikan setiap tahun. Sedang GEDI adalah organisasi non profit yang berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat (AS). Organisasi ini didirikan oleh para pengusaha terkemuka lulusan London School of Economics (LSE) dan Imperial College London (keduanya dari United Kingdom), George Mason University dari AS dan University of Pécs dari Hongaria. Dalam melaksanakan kegiatannya, GEDI didukung oleh Uni Eropa, Bank Dunia serta bank-bank dan perusahaan-perusahaan besar.
Data GEI 2018 menunjukkan AS menempati peringkat pertama dengan skor GEI 83,6, disusul oleh Swiss (80,4), Kanada (79,2), Inggris (77,8) dan Australia (75,5). Bagaimana dengan peringkat negara-negara Asia? Hongkong menempati peringkat ke-13 dengan skor GEI 67,3, disusul oleh Taiwan ke-18 (59,5), Korea Selatan ke-21 (54,2), Uni Emirat Arab ke-26 (53,5 ) dan Singapura peringkat 27 (52,7). China, yang perekonomiannya terus bertumbuh, pada tahun 2018 menempati peringkat ke-43 (skor GEI 41,1).
Di kawasan Asia Tenggara, Singapura masih teratas peringkat 27, (52,7), disusul oleh Brunei Darussalam ke 53 (34,3) dan Malaysia ke 58 ( 32,7), Thailand ke 71 (27,4), Filipina ke 84 (24,1) dan Vietnam peringkat 87 (23,2). Bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2018 negara kita berapa di peringkat ke-94 dengan skor 21.
Tentang GITA Erasmus
GITA adalah konsorsium yang terdiri dari tujuh perguruan tinggi nasional (President University, Universitas Padjadjaran, Universitas Negeri Semarang, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Brawijaya, dan STIE Malangkucecwara) dan empat universitas dari Eropa (University of Gloucestershire dari UK, Institute of Technology (Irlandia), Fachhochschule des Mittelstandes (Jerman), dan Univerisity of Insbruck dari Austria). Konsorsium ini bertujuan mendorong sebanyak mungkin pengusaha yang lahir dari lingkungan kampus. Sesuai dengan tagline-nya, triangular approach, hal tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni pengembangan hubungan kerja sama yang efektif antara perguruan tinggi dan perusahaan, menanamkan jiwa kewirausahaan pada seluruh pemangku kepentingan di universitas, serta membangun perusahaan baru dari ide-ide dan inovasi yang berkontribusi pada ekonomi lokal maupun daerah.
Untuk informasi lebih jauh, hubungi:
Ir. Dwi Nita Aryani, MM, Ph.D
Cellphone : +62 812-4967-266
Email : dwinita@stie-mce.ac.id
Tahun 2022, Laba Waskita Beton Naik 134 Persen
Jakarta, Juni 2023. PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Tahun Buku 2022 di...