Jakarta – Pemerintah Indonesia dinilai belum berhasil mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, Renny Nurhasana, mengatakan hal itu disebabkan karena kenaikan cukai setiap tahun masih membuat harga rokok terjangkau. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh PKJS UI pada bulan Mei 2018 menunjukkan, sebanyak 74% perokok mengaku baru akan berhenti merokok apabila harga rokok naik sampai Rp70.000.
Menurut Renny, harga rokok yang terjangkau memiliki sejumlah dampak yakni meningkatnya jumlah perokok anak, melanggengkan stunting anak Indonesia, tingginya angka kemiskinan, terganggunya program pemerintah, ancaman keberlanjutan terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan risiko tinggi terjangkit Covid-19 bagi perokok. Pengajar di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia ini mendorong pemerintah Indonesia menaikkan harga rokok dengan cara menaikkan cukai hasil tembakau setinggi-tingginya di tahun mendatang. “Kenaikan cukai di Indonesia harus dilakukan dengan konsisten,” ujar Renny saat menyampaikan paparannya dalam diskusi daring “Teka-teki cukai rokok di masa pandemi,” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dengan dukungan WHO, Jumat, 16 Oktober 2020. “Ini melibatkan keberanian pemerintah, berani atau tidak,” ujar Renny.
Sementara itu, Kepala Kebijakan Fiskal untuk Kesehatan Departemen Promosi Kesehatan Dunia WHO, Jeremias N. Paul Jr. mengatakan bahwa jika Indonesia serius ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah Indonesia harus memprioritaskan upaya penurunan prevalensi perokok anak. Menurutnya, hal ini merupakan langkah yang bisa diambil hari ini untuk keuntungan yang bisa dinikmati di masa depan.
“Kesehatan merupakan hal yang fundamental dalam pembangunan manusia,” ujar pria yang akrab disapa JP ini dalam diskusi yang sama.
Dalam presentasinya yang berjudul “Menaikkan Cukai dan Harga tembakau untuk Indonesia Sehat dan Sejahtera”, Jeremias menjelaskan konsumsi rokok yang tinggi tidak hanya berdampak pada kesehatan, namun juga pada pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatnya beban perawatan penyakit tidak menular yang menyebabkan tekanan fiskal untuk kesehatan bertambah besar. Kedua, penyakit dan kematian prematur akibat penggunaan tembakau berdampak langsung pada produktivitas tenaga kerja.
“Konsumsi produk tembakau meningkatkan risiko penyakit tidak menular di masa akan datang. Ini lingkaran setan,” kata Jeremias.
Untuk menangani epidemi tembakau di Indonesia, pemerintah diminta membuat kebijakan tegas. WHO merekomendasikan pemerintah Indonesia menaikkan cukai minimal 25 persen setiap tahunnya. Selain itu melakukan simplifikasi struktur cukai hasil tembakau.
“Ketika naik menjadi 25 persen maka jumlah para perokok akan turun berlipat ganda bahkan kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok juga akan turun,” ujarnya.
Lanjut Jeremias, pengendalian tembakau di Indonesia juga dirasa belum menggunakan standar yang terbaik. Baginya, peningkatan cukai saja tidak cukup, perlu ada upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengendalikan tembakau. Langkah-langkah nonfiskal menjadi langkah efektif, seperti penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok 100%, larangan iklan, promosi, sponsor rokok, dan memberikan informasi peringatan bergambar yang berukuran besar untuk mengubah perilaku masyarakat terkait dengan rokok.
“Kalau melihat Indonesia implikasi kebijakan sangat minimal,” ujarnya.
Menanggapi permintaan PKJS UI serta rekomendasi WHO, analis kebijakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Sarno, menjelaskan bahwa hingga saat ini pembahasan mengenai kenaikan cukai untuk tahun 2021 masih dalam proses penggodokan. Menurutnya, ada beberapa kementerian yang masih tidak satu suara dengan tarif cukai yang hendak diputuskan. Meski kenaikan cukai merupakan upaya Kementerian Keuangan untuk menjalankan amanah Undang-undang 1945 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Sarno mengaku pihaknya tetap harus mampu menjembatani kepentingan berbagai pihak yang akan terimplikasi kenaikan cukai tersebut.
“Kami berusaha untuk menurunkan prevalensi,” ujar Sarno.
Kendati demikian, Sarno mengaku pemerintah akan tetap menaikkan cukai hasil tembakau. Nilainya berapa, ia tidak dapat menjelaskan dengan detail karena masih dalam tahap pembahasan di kementerian. “Tahun depan berapa belum bisa kita sampaikan, masih dalam pembahasan,” ujarnya.
Sebagai organisasi profesi jurnalis yang menaruh perhatian pada isu kesehatan masyarakat, AJI Jakarta mendorong pemerintah untuk mengedepankan pertimbangan sektor kesehatan masyarakat, di atas kepentingan lainnya. “Jika masyarakat sehat karena bebas rokok, sumber daya manusia yang dibutuhkan industri juga lebih berkualitas,” ujar Sekretaris AJI Jakarta, Afwan Purwanto dalam diskusi tersebut.
Narahubung:
AJI Jakarta