Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Selasa (20/10), pukul 11.00 WIB dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon, Ahli Presiden dan Saksi Presiden. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh PT Visi Citra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Norma yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran.
Para Pemohon berpendapat ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) a quo tidak mencakup pada layanan penyiaran berbasis internet yang saat ini bermunculan. Layanan yang berbasis internet ini melahirkan banyak platform digital yang dikenal dengan layanan OTT (over the top). Seharusnya masuk ke dalam rezim penyiaran, dikarenakan OTT turut melaksanakan aktivitas penyiaran (penyampaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar). Perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan.
Selain itu fakta adanya diversifikasi penyiaran berbasis internet sebagaimana diuraikan di atas, tidak diikuti dengan adanya kepastian hukum mengenai regulasi layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming. Hal ini menimbulkan adanya ketidakadilan terhadap penyiaran konvensional. Seharusnya sebagai sesama penyelenggara penyiaran, baik yang
konvensional maupun yang berbasis internet seperti halnya layanan OTT mendapatkan status dan kedudukan yang sama sebagai subyek hukum dalam UU Penyiaran. Namun dalam prakteknya ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyelenggaraan penyiaran berbasis internet, sehingga menyebabkan adanya disparitas/pembedaan status dan kedudukan di antara penyelenggara penyiaran.
Menanggapi Permohonan para Pemohon (22/6), Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku anggota panel menanggapi petitum para Pemohon yang meminta penambahan frasa pada pasal yang diuji. “Kalau petitum andaikata dikabulkan Majelis, apakah tidak ada implikasi terhadap pasal-pasal yang
lain dalam Undang-Undang Penyiaran. Karena Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran merupakan jantungnya, jadi tolong dipelajari,” pesan Arief.
Dalam sidang dengan agenda Perbaikan Permohonan (9/7), Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukum M. Imam Nasef, menambahkan pasal dalam kewenangan Mahkamah, memperbaiki kedudukan Pemohon II dan merevisi Pokok Permohonan.
Sidang dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden (26/8) hadir mewakili Pemerintah Ahmad M. Ramli Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo. M. Ramli menerangkan di Indonesia pengaturan media internet sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan terjadi suatu kekeliruan apabila menyeragamkan pengaturan atas jenis-jenis media tersebut hanya karena diantara jenis-jenisnya yang berbeda namun dapat menyampaikan informasi yang sama berupa audio dan visual. “Sehingga pemahaman Para Pemohon keliru yang mengklasifikasikan layanan audio visual OTT menjadi bagian dari penyiaran”. jelas Ramli. Dalam kesempatan yang sama DPR yang seharusnya memberikan keterangan namun berhalangan hadir, sehingga akan diagendakan pada sidang berikutnya.
Sidang dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Pihak Terkait (14/9), hadir mewakili DPR yakni Anggota Komisi III Habiburokhman menjelaskan bahwa layanan OTT tidak termasuk ke dalam regulasi UU Penyiaran, sedangkan Media buruhonline.tv yang hadir sebagai Pihak Terkait melalui kuasa hukumnya Imam Gozali berpendapat bahwa apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka pihaknya akan mengalai kerugian hak konstitusional sebagai media internet yang menyajikan konten mengenai ketenagakerjaan.
Agenda persidangan dengan mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon (1/10), menghadirkan Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra dan Ahli Hukum dan Legislasi Teknologi Informasi, Danrivianto Budhijanto. Keduanya menjelaskan bahwa perlu adanya pengaturan konten OTT untuk melindungi publik dari konten negatif internet. Selain itu Ahli juga menyebut perlunya teritori digital dalam UU Penyiaran. (ASF)